Mumpung lagi hot-hotnya ni masalah ujian nasional anak sekolahan, UN, UAN atau apapun itulah namanya, mau nyerocos dikit ni, hehe... Dulu aku juga pernah menulis mengenai UAN ini, apakah perlu, atau tidak? Sekarang nggak mau bahas yang itu, yang lain aja.
Nggak terasa terakhir kali aku mengikuti UAN udah 10 tahun yang lalu. Wah, udah tua berarti aku ini ya. :D Sedikit mengenang UAN zaman dulu, sepertinya momen ujian nasional tidak seheboh sekarang, mungkin karena aku sekolah di sekolah asrama jadi tidak terlalu tahu dunia luar, mungkin juga karena media yang tidak terlalu mengeksposnya. Sekarang ini aku lihat di tv sepertinya ujian nasional seperti momok yang menakutkan dan menjadi sesuatu yang sakral. Berbagai acara maupun ritual dilakukan untuk menghadapi ujian nasional, mulai dari acara keagamaan sampai hal yang klenik. Terkesan lebay memang, tapi itulah kenyataan. Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran anak SMA sekarang, apakah memang benar ujian nasional itu merupakan suatu proses menakutkan yang bisa menentukan masa depan atau proses biasa dalam suatu pendidikan.
Waktu zaman UAN SMA dulu, sepertinya respon kami tidak seheboh ini, mungkin beda kondisi ya. Alhamdulillah dulu kami berada pada sistem pendidikan sekolah yang cukup baik, guru mengatakan bahwa “diuji karena belajar bukan belajar karena diuji”. Jadi kami semua sudah merasa siap (sebenarnya mau gak mau harus siap sih, hehe.). Bahkan sebagian dari kami menganggap UAN sebagai try out SPMB. Yah, target kami semua waktu itu memang lulus SPMB di perguruan tinggi idaman. Bukan meremehkan UAN, cenderung takabur atau sombong, tapi memang kita semua yakin dengan persiapan yang matang, mental yang siap dan tidak lupa berdoa, kalau UAN itu InsyaAlloh pasti lulus. Jadi targetnya lebih tinggi yaitu lulus SPMB dan UAN sebagai salah satu “latihannya”. Persiapan untuk UAN sudah dimulai kira-kira awal kelas 3. hampir tiap minggu kami latihan soal UAN,SPMB,dsb. Jadi ketika UAN datang nggak kaget lagi. Menjelang hari UAN malah banyak nyantainya, bahkan di malam UAN sebagai anak asrama kami malah ngumpul2, gitaran, dsb. Ini kalau tidak salah penampakan kami di malam UAN 10 tahun lalu di depan asrama.
Begitulah kami pada waktu itu, jadi UAN tidak bikin stress, tapi nunggu hasilnya yang stress, haha... Nggaklah, biasa-biasa aja. walaupun tidak ada ritual khusus alhamdulillah waktu itu kami lulus semua dengan hasil yang cukup baik, nilai rata2 UAN kami untuk yang jurusan IPA nomor 2 di Propinsi Riau, bahkan yang IPS malah nomor 1. beberapa teman juga ada yang meraih nilai UAN sempurna, 10. sebagian besar dari kami memang tidak terlalu fokus untuk mengejar nilai tinggi di UAN, karena nilai itu tidak bisa digunakan untuk masuk PTN idaman. Untuk masuk PTN harus tes lagi, yaitu SPMB, jadi fokusnya lebih ke SPMB.
Ada yang bilang kalau sistem ujian nasional ini sistem yang tidak cocok kalau memang tidak dikatakan tidak bagus untuk diterapkan di Indonesia. Tentu saja karena pendidikan yang belum merata. Bagi sekolah favorit atau sekolah2 di kota yang sistemnya sudah bagus mungkin ujian nasional ini tidak masalah, tapi bagaimana dengan sekolah di desa atau pedalaman yang gurunya jarang masuk (kurang guru), sekolahnya tidak layak, dsb. Hal inilah yang mungkin jadi penyebab adanya kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan UAN. Beberapa guru sengaja memberitahu jawaban UAN kepada siswanya, bahkan kepala sekolahnya yang menyuruh. Mereka takut kalau anak didiknya tidak lulus UAN. Kasihan sekali, mereka jadi korban sistem. Nah, untuk masalah sistem yang lebih baik mungkin para pakar pendidikan harus lebih jeli lagi dalam menentukan kebijakan. Jangan sampai masyarakat, guru & siswa jadi korban sistem yang dipaksakan. Buat siswa-siswi SMA sebaiknya jangan terlalu horor lah menghadapi UAN ini. Memang kadang tidak adil sih, perjuangan 3 tahun ditentukan 3 hari. Tapi saat ini yang bisa dilakukan adalah menghadapinya, protes juga percuma. Ok, selamat menghadapi UAN, semoga sukses... :)