Jangan pernah berubah... Ini bukan ikut – ikutan judul lagu yang lagi hits sekarang, karena kebetulan ku tak suka lagu ini, he3.... Kalimat ini mungkin bisa dikatakan sebuah “pemaksaan” kehendak, karena pada hakikatnya sesuatu itu berubah, baik itu berubah dari segi fisik maupun nonfisik. Perubahan adakalanya disebabkan oleh sesuatu yang masuk akal dan pasti, namun adakalanya perubahan disebabkan oleh sesuatu yang tidak masuk akal atau bahkan berubah tanpa sebab.
Manusia pasti berubah. Berubah dari segi fisik, mental, pola pikir, dsb. Perubahan bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Berbagai macam reaksi setiap orang terhadap perubahan dirinya, ada yang senang, ada yang biasa – biasa saja, namun ada juga yang sedih, takut, khawatir, dsb.
Selain perubahan fisik, perubahan nonfisik bisa juga terjadi. Misalnya perubahan sikap, yang tadinya baik jadi jahat, dsb. Kini, aku juga mengalami perubahan sikap, tepatnya persepsi. Persepsiku tentang “sesuatu” kini berubah. Dulu aku sangat kagum, salut, respek, dan lain sebagainya, pokoknya yang baik2lah, ibaratnya gak ada yang cacat dengan dia. Tapi sekarang, rasa kagum, salut, respek, dsb berkurang, walaupun tidak sampai habis. Kenapa ya ??? “sesuatu” itu telah mengecewakanku, baik sengaja ataupun tidak, yang jelas sesuatu itu telah membuatku terluka, cie...cie....., he3.... Yah, mungkin sesuatu itu tidak sadar , tidak tahu atau tidak mau tahu tentang apa yang kurasakan. He3.... Mungkin juga aku terlalu berharap lebih terhadap sesuatu itu, sehingga ketika harapanku tidak terwujud, aku jadi kecewa berat. Yah, terlalu banyak berharap memang mudah membuat kita kecewa...
Ya sudahlah, ngapain juga terlalu mikirin sesuatu itu, yang belum tentu mikirin aku. Mungkin benar juga ungkapan ini “jangan terlalu membenci sesuatu, karena mungkin suatu saat kamu akan mencintainya, dan jangan terlalu mencintai sesuatu, karena mungkin suatu saat kamu akan membencinya”. Biasa – biasa ajalah...
Tetaplah berbuat baik pada siapapun, meskipun sikap orang itu padamu berubah. So, mudah-mudahan aku akan selalu berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Aamiin....
Minggu, 29 Maret 2009
Rabu, 04 Maret 2009
Indonesia butuh berapa presiden???
Bagaikan jamur di musim penghujan, yang semakin tumbuh subur atau tumbuh tunas-tunas baru. Itulah gambaran dunia politik di Indonesia saat ini. Tahun lalu, banyak partai didirikan, bahkan sampai ratusan jumlahnya dengan latar belakang dan tujuan tertentu, meskipun yang berhasil ikut pemilu “hanya” 30an plus partai lokal. Inilah jaman yang disebut kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dsb. Jadi, semua seolah-olah memang bebas. Tidak setuju dengan suatu kelompok, lalu buat kelompok sendiri, tidak setuju dengan suatu partai, buat partai sendiri, dst. Salahkah yang demikian itu??? Mungkin tidak salah, tapi bagaimana kalau hal ini terjadi terus??? Seolah-olah bangsa ini tidak bisa bersatu, mudah dipecah-pecah. Ketika ada masalah, bukannya bermusyawarah untuk menyelesaikan, tetapi malah keluar dari masalah.
Tahun ini, ketika pemilu legislatif semakin dekat, yang muncul adalah orang-orang yang mengaku mampu memimpin negara ini, mampu menjadi Presiden Republik Indonesia. Mungkin saking banyaknya orang pintar (atau sebaliknya), sampai-sampai orang yang mampu atau mengaku mampu menjadi presiden jumlahnya banyak sekali. Mereka berasal hampir dari semua kalangan, dari politisi, pejabat, artis, tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi, dsb. Tentu saja masing – masing merasa punya “kekuatan” untuk jadi presiden, mulai dari kekuasaan, nama besar orang tua, kepopuleran, kekayaan,dsb. Mereka merasa dengan semua yang mereka miliki, mereka “mampu” untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Padahal,bangsa ini tidak butuh orang yang merasa atau mengaku-ngaku mampu, tapi butuh orang yang benar-benar mampu. Bangsa ini adalah bangsa yang besar, butuh orang “besar”, bangsa ini bangsa yang kaya, butuh orang yang “kaya”, dsb.
Kedua fenomena di atas, bagi sebagian orang (atau mungkin kebanyakan) adalah fenomena biasa dalam iklim demokrasi. Ah, lagi-lagi demokrasi jadi alasan. Kalau ada perang pendapat, alasan demokrasi, kalau ada demonstrasi (rusuh), alasan demokrasi, kalau ada perpecahan, alasan demokrasi. Seolah-olah demokrasi menjadi pembenaran dari semua masalah. Atau jangan-jangan demokrasi merupakan akar dari semua masalah??? Au ah... Yang jelas, dengan banyaknya partai atau calon presiden, dampak yang sekarang timbul adalah kebingungan masyarakat, terutama masyarakat kecil. Kasarnya, mereka belum terlalu cerdas untuk memilih mana yang terbaik, atau kalau memang tidak ada yang terbaik, yang kejelekannya paling sedikit. Masyarakat bingung. Meskipun ada tokoh nasional yang mengatakan kalau semakin banyak calon, maka akan semakin banyak pilihan. Pernyataan yang menurutku salah kaprah. Semakin banyak calon akan semakin bingung untuk memilih, karena yang dipilih hanya 1, kecuali kalau yang dipilih lebih dari 1, mungkin pernyataan beliau ada benarnya. Walaupun pada dasarnya beliau-beliau perlu diapresiasi karena “ingin” mengabdi pada negara dan memajukan bangsa ini. Mudah2an niatnya benar-benar tulus. Tapi, untuk memajukan bangsa haruskah jadi presiden???
Kembali kepada banyaknya calon presiden (meskipun masih bakal calon). Semua calon merasa mampu untuk memajukan Indonesia, mampu membawa Indonesia kepada kesejahteraan, kejayaan dan kemakmuran. Mungkin mereka tidak membaca sejarah, bagaimana zaman keemasan suatu bangsa atau pemerintahan untuk dijadikan contoh atau suri tauladan. Dalam Islam, tentu saja dimulai zaman Rosululloh, sahabat dan beberapa generasi setelahnya. Pada zaman itu, Islam ada pada masa kejayaan. Dan sepertinya pada zaman itu tidak ada pemimpin yang merasa atau mengaku-ngaku mampu seperti sekarang. Setelah Rasululloh wafat, para sahabat tidak merasa mampu memimpin atau berebut kekuasaan, bahkan mereka saling ingin memberikan kekuasaan, meskipun mungkin sebenarnya masing-masing dari mereka mampu. Rasululloh juga pernah bersabda yang artinya “ Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan. (HR.Muslim)”. Nah lo...
Mungkin hal ini hanya pendapat orang yang awam dengan dunia politik dan mungkin terkesan sangat subjektif. Ah, politik. Jadi inget lirik lagu Bang Iwan Fals :
Dunia politik penuh dengan intrik
Cubit sana cubit sini itu sudah lumrah
Seperti orang pacaran
Kalau nggak nyubit ngGak asyik
Dunia politik penuh dengan intrik
Kilik sana kilik sini itu sudah wajar
Seperti orang adu jangkrik
Kalau nggak ngilik ngGak asyik
Rakyat nonton jadi supporter
Kasih semangat jagoannya
Walau tau jagoannya ngibul
Walau tau dapur nggak ngebul
Dunia politik dunia bintang
Dunia hura hura para binatang
Berjoget dengan asik
Dunia politik punya hukum sendiri
Colong sana colong sini atau colong colongan
Seperti orang nyolong mangga
Kalau nggak nyolong ngGak asyik
Rakyat lugu kena getahnya
Buah mangga entah kemana
Tinggal biji tinggal kulitnya
Tinggal mimpi ambil hikmahnya
Dunia politik dunia bintang
Dunia pesta pora para binatang
Asik ngGak asyik
Dunia politik memang asik nggak asik
Kadang asik kadang enggak disitu yang asik (katanya)
Seperti orang main catur
Kalau nggak ngatur ngGak asyik
Pion bingung nggak bisa mundur
Pion pion nggak mungkin kabur
Menteri, luncur, kuda dan benteng
Galaknya melebihi raja
Raja tenang gerak selangkah…
sambil menyematkan hadiah
Asik ngGak asyik (asik lagi! asyik tau!…)
Asik ngGak asyik (orang udah dibilang asyik)
Asik ngGak asyik (asik tau!…)
Asik ngGak asyik (guwa bilang juga apa: asik ngGak…)
(Asyik nggak asyik, by : Iwan Fals)
Tahun ini, ketika pemilu legislatif semakin dekat, yang muncul adalah orang-orang yang mengaku mampu memimpin negara ini, mampu menjadi Presiden Republik Indonesia. Mungkin saking banyaknya orang pintar (atau sebaliknya), sampai-sampai orang yang mampu atau mengaku mampu menjadi presiden jumlahnya banyak sekali. Mereka berasal hampir dari semua kalangan, dari politisi, pejabat, artis, tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi, dsb. Tentu saja masing – masing merasa punya “kekuatan” untuk jadi presiden, mulai dari kekuasaan, nama besar orang tua, kepopuleran, kekayaan,dsb. Mereka merasa dengan semua yang mereka miliki, mereka “mampu” untuk menjadi pemimpin bangsa ini. Padahal,bangsa ini tidak butuh orang yang merasa atau mengaku-ngaku mampu, tapi butuh orang yang benar-benar mampu. Bangsa ini adalah bangsa yang besar, butuh orang “besar”, bangsa ini bangsa yang kaya, butuh orang yang “kaya”, dsb.
Kedua fenomena di atas, bagi sebagian orang (atau mungkin kebanyakan) adalah fenomena biasa dalam iklim demokrasi. Ah, lagi-lagi demokrasi jadi alasan. Kalau ada perang pendapat, alasan demokrasi, kalau ada demonstrasi (rusuh), alasan demokrasi, kalau ada perpecahan, alasan demokrasi. Seolah-olah demokrasi menjadi pembenaran dari semua masalah. Atau jangan-jangan demokrasi merupakan akar dari semua masalah??? Au ah... Yang jelas, dengan banyaknya partai atau calon presiden, dampak yang sekarang timbul adalah kebingungan masyarakat, terutama masyarakat kecil. Kasarnya, mereka belum terlalu cerdas untuk memilih mana yang terbaik, atau kalau memang tidak ada yang terbaik, yang kejelekannya paling sedikit. Masyarakat bingung. Meskipun ada tokoh nasional yang mengatakan kalau semakin banyak calon, maka akan semakin banyak pilihan. Pernyataan yang menurutku salah kaprah. Semakin banyak calon akan semakin bingung untuk memilih, karena yang dipilih hanya 1, kecuali kalau yang dipilih lebih dari 1, mungkin pernyataan beliau ada benarnya. Walaupun pada dasarnya beliau-beliau perlu diapresiasi karena “ingin” mengabdi pada negara dan memajukan bangsa ini. Mudah2an niatnya benar-benar tulus. Tapi, untuk memajukan bangsa haruskah jadi presiden???
Kembali kepada banyaknya calon presiden (meskipun masih bakal calon). Semua calon merasa mampu untuk memajukan Indonesia, mampu membawa Indonesia kepada kesejahteraan, kejayaan dan kemakmuran. Mungkin mereka tidak membaca sejarah, bagaimana zaman keemasan suatu bangsa atau pemerintahan untuk dijadikan contoh atau suri tauladan. Dalam Islam, tentu saja dimulai zaman Rosululloh, sahabat dan beberapa generasi setelahnya. Pada zaman itu, Islam ada pada masa kejayaan. Dan sepertinya pada zaman itu tidak ada pemimpin yang merasa atau mengaku-ngaku mampu seperti sekarang. Setelah Rasululloh wafat, para sahabat tidak merasa mampu memimpin atau berebut kekuasaan, bahkan mereka saling ingin memberikan kekuasaan, meskipun mungkin sebenarnya masing-masing dari mereka mampu. Rasululloh juga pernah bersabda yang artinya “ Kami tidak mengangkat orang yang berambisi berkedudukan. (HR.Muslim)”. Nah lo...
Mungkin hal ini hanya pendapat orang yang awam dengan dunia politik dan mungkin terkesan sangat subjektif. Ah, politik. Jadi inget lirik lagu Bang Iwan Fals :
Dunia politik penuh dengan intrik
Cubit sana cubit sini itu sudah lumrah
Seperti orang pacaran
Kalau nggak nyubit ngGak asyik
Dunia politik penuh dengan intrik
Kilik sana kilik sini itu sudah wajar
Seperti orang adu jangkrik
Kalau nggak ngilik ngGak asyik
Rakyat nonton jadi supporter
Kasih semangat jagoannya
Walau tau jagoannya ngibul
Walau tau dapur nggak ngebul
Dunia politik dunia bintang
Dunia hura hura para binatang
Berjoget dengan asik
Dunia politik punya hukum sendiri
Colong sana colong sini atau colong colongan
Seperti orang nyolong mangga
Kalau nggak nyolong ngGak asyik
Rakyat lugu kena getahnya
Buah mangga entah kemana
Tinggal biji tinggal kulitnya
Tinggal mimpi ambil hikmahnya
Dunia politik dunia bintang
Dunia pesta pora para binatang
Asik ngGak asyik
Dunia politik memang asik nggak asik
Kadang asik kadang enggak disitu yang asik (katanya)
Seperti orang main catur
Kalau nggak ngatur ngGak asyik
Pion bingung nggak bisa mundur
Pion pion nggak mungkin kabur
Menteri, luncur, kuda dan benteng
Galaknya melebihi raja
Raja tenang gerak selangkah…
sambil menyematkan hadiah
Asik ngGak asyik (asik lagi! asyik tau!…)
Asik ngGak asyik (orang udah dibilang asyik)
Asik ngGak asyik (asik tau!…)
Asik ngGak asyik (guwa bilang juga apa: asik ngGak…)
(Asyik nggak asyik, by : Iwan Fals)
Langganan:
Postingan (Atom)